Panduan Lengkap: Contoh Surat Perjanjian Perselingkuhan & Cara Mencegahnya
Kepercayaan adalah pondasi utama dalam setiap hubungan, apalagi dalam pernikahan. Ketika kepercayaan itu retak karena perselingkuhan, rasanya dunia runtuh. Membangunnya kembali butuh usaha luar biasa dari kedua belah pihak. Salah satu cara, meski kontroversial bagi sebagian orang, adalah membuat surat perjanjian tidak mengulangi perselingkuhan. Bukan sekadar selembar kertas, ini adalah simbol komitmen dan harapan untuk masa depan yang lebih baik.
Image just for illustration
Surat ini dibuat bukan untuk mempermalukan atau menghukum, melainkan sebagai pengingat kuat tentang janji yang diucapkan dan kesepakatan yang dibuat bersama. Ini adalah bentuk pertanggungjawaban dari pihak yang berselingkuh dan jaminan (meski tidak mutlak) bagi pihak yang disakiti bahwa kejadian itu tidak akan terulang. Proses pembuatannya pun seringkali menjadi momen penting untuk komunikasi jujur dan mendalam tentang apa yang terjadi dan apa yang diinginkan ke depan.
Sebenarnya, apa sih surat perjanjian semacam ini? Intinya, ini adalah dokumen yang ditandatangani oleh pasangan, di mana pihak yang melakukan perselingkuhan mengakui perbuatannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Di dalamnya bisa memuat konsekuensi yang disepakati bersama jika janji tersebut dilanggar di kemudian hari. Tujuannya adalah memberikan rasa aman, kejelasan, dan harapan baru bagi hubungan yang sedang dalam masa penyembuhan.
Mengapa Perlu Surat Perjanjian Semacam Ini?¶
Ada beberapa alasan mengapa pasangan, setelah terjadi perselingkuhan dan memutuskan untuk tetap bersama, memilih membuat surat perjanjian ini. Pertama, ini adalah bentuk komitmen tertulis. Mengakui kesalahan secara lisan itu satu hal, menuangkannya dalam tulisan dan menandatanganinya di hadapan pasangan (dan mungkin saksi) adalah bentuk komitmen yang lebih serius dan mengikat secara moral, bahkan emosional. Ini menunjukkan kesungguhan pihak yang bersalah untuk berubah.
Kedua, surat ini bisa menjadi alat untuk membangun kembali kepercayaan. Bagi pihak yang disakiti, melihat komitmen ini dalam bentuk tertulis bisa sedikit mengurangi rasa cemas dan ketakutan akan terulangnya kejadian yang sama. Ini memberikan semacam “pegangan” atau validasi terhadap perasaan dan kebutuhan mereka akan keamanan dalam hubungan. Proses diskusinya sendiri sudah merupakan langkah awal penyembuhan.
Ketiga, adanya konsekuensi yang disepakati dalam surat perjanjian bisa menjadi pengingat yang kuat. Mengetahui bahwa ada “harga” yang harus dibayar jika mengulangi perbuatan bisa menjadi faktor pencegah. Konsekuensi ini bisa bervariasi, mulai dari kesepakatan untuk terapi pasangan, penyerahan aset tertentu, hingga kesepakatan untuk berpisah (meski poin ini bisa jadi kontroversial dan perlu dipertimbangkan matang-matang serta konsultasi hukum).
Faktanya, dalam banyak kasus, perselingkuhan itu bukan hanya sekadar tindakan fisik, tapi juga pengkhianatan emosional yang dalam. Kerusakan yang ditimbulkan bisa sangat parah, membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk pulih sepenuhnya, bahkan terkadang tidak bisa sepenuhnya kembali seperti semula. Sebuah studi yang diterbitkan di Journal of Marital and Family Therapy menemukan bahwa hanya sekitar 15-20% pasangan yang bisa sepenuhnya pulih dan memiliki hubungan yang lebih kuat setelah perselingkuhan, sementara sebagian besar lainnya berakhir dengan perpisahan atau hubungan yang tetap rapuh. Surat ini adalah salah satu upaya, di samping upaya lain seperti konseling, untuk masuk dalam kategori yang pulih itu.
Bagaimana Kedudukan Hukum Surat Perjanjian Ini?¶
Nah, ini bagian pentingnya. Secara hukum di Indonesia, perjanjian antara suami istri terkait urusan privat rumah tangga seperti kesetiaan atau tidak berselingkuh memiliki kekuatan hukum yang terbatas dibandingkan, misalnya, perjanjian pranikah atau perjanjian pisah harta yang diatur jelas dalam undang-undang. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 memang mengatur hak dan kewajiban suami istri, termasuk kewajiban untuk saling mencintai dan setia. Namun, tindakan perselingkuhan itu sendiri, meski merupakan pelanggaran terhadap undang-undang perkawinan dan bisa menjadi alasan gugatan cerai, sanksinya (misalnya dalam bentuk pidana atau perdata) tidak secara otomatis dijatuhkan hanya karena adanya surat perjanjian ini.
Image just for illustration
Surat perjanjian tidak mengulangi perselingkuhan ini lebih kuat sebagai bukti tertulis dari pengakuan kesalahan dan komitmen untuk berubah. Jika perselingkuhan terulang, surat ini bisa menjadi bukti yang sangat kuat di pengadilan agama (untuk yang beragama Islam) atau pengadilan negeri (untuk non-Muslim) sebagai alasan kuat untuk mengajukan gugatan cerai dengan dasar perselingkuhan. Konsekuensi finansial atau pembagian harta yang disepakati dalam surat ini mungkin bisa dipertimbangkan oleh hakim, tapi tidak otomatis mengikat jika bertentangan dengan prinsip hukum keluarga yang berlaku, terutama jika merugikan salah satu pihak secara tidak wajar.
Jadi, jangan anggap surat ini sebagai “senjata hukum” yang pasti. Anggaplah ini sebagai perjanjian moral dan komitmen emosional yang diperkuat dengan tulisan dan konsekuensi yang disepakati bersama. Fungsinya lebih pada aspek psikologis dan relasional untuk membangun kembali kepercayaan, bukan semata-mata untuk menuntut di pengadilan (meski bisa menjadi bukti). Sangat disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli hukum jika ingin memasukkan poin-poin yang berpotensi memiliki implikasi hukum signifikan.
Elemen Penting dalam Surat Perjanjian Ini¶
Sebuah surat perjanjian tidak mengulangi perselingkuhan yang efektif harus memuat beberapa elemen kunci. Ini memastikan dokumen tersebut jelas, serius, dan mencerminkan kesepakatan yang dicapai bersama. Berikut adalah elemen-elemen yang umumnya ada:
- Identitas Pihak-Pihak: Sebutkan nama lengkap, tanggal lahir, alamat, dan hubungan (suami/istri) dari kedua belah pihak yang membuat perjanjian. Penting untuk mengidentifikasi siapa yang membuat pernyataan dan kepada siapa pernyataan itu ditujukan.
- Pengakuan Kesalahan: Pihak yang melakukan perselingkuhan harus secara jelas mengakui perbuatannya. Sebutkan secara umum apa yang terjadi dan bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap komitmen pernikahan dan menyakiti pasangan. Tidak perlu detail yang menyakitkan, cukup pengakuan yang tulus.
- Pernyataan Komitmen: Ini adalah inti suratnya. Pihak yang bersalah berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak pernah mengulangi perbuatan perselingkuhan dalam bentuk apapun (fisik, emosional, online, dll.) di masa depan.
- Upaya Perbaikan: Sebutkan langkah-langkah konkret yang akan diambil untuk memperbaiki diri dan hubungan. Contohnya bisa berupa kesediaan mengikuti konseling individu atau pasangan, lebih terbuka dalam komunikasi, mengurangi interaksi dengan pihak ketiga yang terlibat, atau langkah spesifik lain yang disepakati.
- Konsekuensi Pelanggaran: Poin ini krusial sebagai pengingat. Diskusikan dan sepakati bersama apa yang akan terjadi jika janji ini dilanggar. Contohnya: bersedia menanggung semua biaya perceraian (jika terjadi), menyerahkan hak asuh anak (jika disepakati dan sesuai hukum), menyerahkan aset tertentu, atau konsekuensi lain yang masuk akal dan disepakati kedua pihak. Penting untuk memastikan konsekuensi ini tidak melanggar hukum dan merupakan kesepakatan sukarela, bukan paksaan.
- Jangka Waktu (Opsional): Meskipun komitmen kesetiaan seharusnya seumur hidup, kadang ada yang mencantumkan bahwa perjanjian ini berlaku sampai batas waktu tertentu atau sampai dicabut oleh kedua belah pihak. Namun, umumnya perjanjian ini dibuat berlaku “selama perkawinan masih berlangsung”.
- Saksi (Sangat Disarankan): Adanya saksi membuat perjanjian ini lebih kuat secara moral dan pembuktian. Saksi bisa anggota keluarga yang bijak, penasihat spiritual, atau konselor pasangan. Pastikan saksi memahami tujuan perjanjian ini dan bersedia menandatangani.
- Tanggal dan Tempat: Kapan dan di mana perjanjian ini dibuat.
- Tanda Tangan: Kedua belah pihak dan saksi (jika ada) harus membubuhkan tanda tangan di atas materai yang cukup (untuk kekuatan pembuktian jika diperlukan di kemudian hari, meskipun bukan jaminan kekuatan hukum absolut).
Menyusun poin-poin ini membutuhkan kejujuran, kerendahan hati, dan keberanian dari kedua belah pihak. Proses diskusinya mungkin sulit dan emosional, tapi ini bagian dari proses penyembuhan.
Proses Membuat Surat Perjanjian¶
Membuat surat perjanjian ini bukan sekadar duduk dan mengetik. Ada proses di baliknya yang jauh lebih penting daripada dokumen itu sendiri.
- Komunikasi Terbuka dan Jujur: Ini adalah langkah pertama dan terpenting. Pasangan harus duduk bersama (seringkali dibantu konselor) untuk membicarakan apa yang terjadi, mengapa terjadi, bagaimana perasaan masing-masing, dan apakah ada keinginan tulus dari kedua belah pihak untuk memperbaiki hubungan. Jika salah satu pihak merasa dipaksa atau tidak benar-benar ingin berkomitmen, surat ini tidak akan banyak gunanya.
- Kesepakatan untuk Membuat Perjanjian: Setelah komunikasi awal dan ada kesepakatan untuk mencoba mempertahankan pernikahan, sepakati bahwa membuat surat perjanjian ini adalah langkah yang ingin diambil bersama. Diskusikan tujuan spesifik dari surat ini.
- Diskusi Isi Perjanjian: Secara detail, bahas poin-poin penting yang ingin dimasukkan. Apa pengakuannya? Apa komitmen spesifiknya? Langkah perbaikan apa yang realistis? Konsekuensi apa yang adil dan disepakati bersama? Ini butuh waktu dan kesabaran.
- Penulisan Draf: Salah satu pihak (atau bersama-sama) bisa mulai menyusun draf awal berdasarkan diskusi. Gunakan bahasa yang jelas, lugas, dan mudah dipahami. Hindari bahasa yang menghakimi atau menyudutkan.
- Review Bersama: Baca drafnya bersama-sama. Apakah isinya sudah sesuai dengan kesepakatan? Apakah ada yang perlu diubah atau ditambahkan? Pastikan kedua belah pihak merasa nyaman dan setuju dengan setiap poin.
- Finalisasi dan Penandatanganan: Setelah draf final disepakati, cetak suratnya. Siapkan materai sesuai ketentuan yang berlaku. Lakukan penandatanganan oleh kedua belah pihak dan saksi (jika ada). Simpan salinan surat ini dengan baik.
Mengutip dari The Gottman Institute, salah satu lembaga riset hubungan terkemuka, proses memperbaiki hubungan setelah perselingkuhan melibatkan tiga fase utama: Atone (mengakui dan meminta maaf), Attune (memahami dan berempati), dan Attach (membangun kembali keintiman dan kepercayaan). Pembuatan surat perjanjian ini paling relevan di fase pertama dan kedua, sebagai wujud atonement dan attunement terhadap kebutuhan pasangan.
Contoh Struktur Surat Perjanjian Tidak Mengulangi Perselingkuhan¶
Berikut adalah contoh struktur atau kerangka surat perjanjian yang bisa kamu adaptasi. Ingat, ini hanya contoh, isinya harus disesuaikan dengan situasi dan kesepakatan spesifik kamu dan pasangan.
[Judul Surat]
**SURAT PERJANJIAN**
**TIDAK MENGULANGI PERSELINGKUHAN**
[Pendahuluan/Preamble]
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama Lengkap : [Nama Suami]
Tempat/Tanggal Lahir : [Tempat/Tgl Lahir Suami]
Nomor KTP : [Nomor KTP Suami]
Alamat : [Alamat Suami]
Hubungan dalam Perkawinan : Suami
Selanjutnya disebut sebagai **PIHAK PERTAMA**.
Nama Lengkap : [Nama Istri]
Tempat/Tanggal Lahir : [Tempat/Tgl Lahir Istri]
Nomor KTP : [Nomor KTP Istri]
Alamat : [Alamat Istri]
Hubungan dalam Perkawinan : Istri
Selanjutnya disebut sebagai **PIHAK KEDUA**.
Dengan ini, PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA menyatakan telah sepakat dan setuju untuk membuat surat perjanjian ini dengan itikad baik, tanpa paksaan dari pihak manapun, demi kelangsungan dan kebaikan bersama dalam ikatan perkawinan kami yang sah.
[Pengakuan Kesalahan PIHAK PERTAMA]
PIHAK PERTAMA dengan ini **mengakui** bahwa telah melakukan tindakan yang **melanggar komitmen kesetiaan** dalam perkawinan dengan PIHAK KEDUA, yaitu berupa [jelaskan secara umum perbuatan yang diakui, contoh: "perselingkuhan", "hubungan gelap", "ketidaksetiaan"]. PIHAK PERTAMA memahami bahwa tindakan tersebut telah **sangat menyakiti, mengkhianati kepercayaan**, dan menimbulkan **kerusakan mendalam** pada hubungan perkawinan kami dengan PIHAK KEDUA.
[Pernyataan Komitmen PIHAK PERTAMA]
Sehubungan dengan pengakuan tersebut di atas, PIHAK PERTAMA dengan ini menyatakan **janji dan komitmen** yang **sungguh-sungguh** kepada PIHAK KEDUA dan Tuhan Yang Maha Esa untuk:
1. **Tidak akan pernah** mengulangi perbuatan perselingkuhan atau tindakan ketidaksetiaan lainnya dalam bentuk apapun (baik fisik, emosional, melalui media sosial, atau bentuk lainnya) di masa depan, selama ikatan perkawinan dengan PIHAK KEDUA masih sah.
2. Akan senantiasa menjaga **komunikasi yang terbuka dan jujur** dengan PIHAK KEDUA mengenai segala hal terkait perasaan, aktivitas, dan interaksi dengan orang lain.
3. Bersedia melakukan segala **upaya perbaikan diri** yang diperlukan demi pemulihan hubungan dan kepercayaan, termasuk namun tidak terbatas pada: [Sebutkan upaya perbaikan yang disepakati, contoh: "mengikuti sesi konseling individu dan/atau pasangan secara rutin", "membatasi atau menghentikan kontak dengan pihak ketiga yang terlibat", "lebih banyak menghabiskan waktu berkualitas dengan keluarga"].
4. Akan selalu mengutamakan **kebutuhan emosional dan keamanan** PIHAK KEDUA dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil terkait hubungan kami.
[Kesepakatan Konsekuensi]
PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA sepakat, apabila di kemudian hari PIHAK PERTAMA terbukti **melanggar** salah satu atau seluruh komitmen yang tercantum dalam surat perjanjian ini (dengan bukti yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan), maka PIHAK PERTAMA **bersedia menerima konsekuensi** sebagai berikut:
[Sebutkan konsekuensi yang disepakati. **CATATAN PENTING**: Konsekuensi ini harus disepakati bersama, realistis, dan sebaiknya tidak melanggar hukum atau hak asasi manusia. Contohnya bisa berupa:]
* Bersedia dan **tidak akan menghalangi** gugatan cerai yang diajukan oleh PIHAK KEDUA.
* Bersedia menanggung **seluruh biaya** yang timbul sehubungan dengan proses perceraian tersebut.
* Bersedia menyerahkan hak atas aset [sebutkan aset spesifik jika ada, contoh: "rumah", "mobil", "bagian tertentu dari harta bersama"] kepada PIHAK KEDUA [atau "sesuai kesepakatan pembagian harta yang baru"] (ini perlu didiskusikan mendalam dan mungkin konsultasi hukum).
* Bersedia [sebutkan konsekuensi lain yang disepakati, contoh: "tidak menuntut hak asuh anak" - *penting: hak asuh anak akan diputuskan pengadilan berdasarkan pertimbangan terbaik bagi anak*].
* Bersedia membayar sejumlah uang sebagai kompensasi [sebutkan jika ada kesepakatan ini].
Kesepakatan konsekuensi ini dibuat sebagai bentuk **penegasan komitmen** dan **pertanggungjawaban** atas tindakan yang merusak kepercayaan.
[Penutup]
Surat perjanjian ini dibuat dengan **kesadaran penuh, tanpa paksaan**, dan dengan **itikad baik** dari kedua belah pihak. Surat ini menjadi bukti tertulis atas kesepakatan dan komitmen kami untuk memperbaiki dan menjaga keutuhan rumah tangga kami.
Surat perjanjian ini dibuat di [Tempat Pembuatan Surat] pada tanggal [Tanggal Lengkap] dan ditandatangani oleh PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA, serta disaksikan oleh saksi-saksi di bawah ini.
[Bagian Tanda Tangan]
| PIHAK PERTAMA | PIHAK KEDUA |
| :------------------------ | :---------------------- |
| (Meterai Rp. 10.000) | (Meterai Rp. 10.000) |
| [Nama Lengkap PIHAK PERTAMA] | [Nama Lengkap PIHAK KEDUA] |
| Suami | Istri |
| SAKSI 1 | SAKSI 2 |
| :------------------------ | :------------------------ |
| [Nama Lengkap Saksi 1] | [Nama Lengkap Saksi 2] |
| [Hubungan dengan Pasangan] | [Hubungan dengan Pasangan] |
| (Tanda Tangan) | (Tanda Tangan) |
Ini hanya contoh, ya. Bagian pengakuan, komitmen, dan konsekuensi bisa sangat bervariasi tergantung situasi dan kesepakatan kalian. Penting untuk jujur dan realistis saat mengisinya.
Mengisi Bagian Kosong: Personalisasi adalah Kunci¶
Template di atas adalah kerangka. Bagian paling krusial adalah bagaimana kamu dan pasangan mengisi bagian-bagian kosong tersebut.
- Pengakuan: Jangan hanya formalitas. Pihak yang bersalah perlu merenungkan kedalaman dari rasa sakit yang ditimbulkan dan menuangkannya dalam pengakuan yang tulus. Mengakui bahwa tindakan itu salah dan menyakitkan adalah lebih penting daripada sekadar daftar tindakan.
- Upaya Perbaikan: Jadikan ini spesifik. Bukan hanya “akan berusaha lebih baik”, tapi “akan rutin mengikuti sesi konseling setiap minggu”, “akan memberi akses pada ponsel/email jika diminta”, “akan selalu memberitahu jika ada interaksi dengan X”, atau langkah konkret lain yang bisa diukur dan dipantau (meski pemantauan harus berbasis trust, bukan kecurigaan terus-menerus).
- Konsekuensi: Diskusikan dengan tenang. Konsekuensi ini harus disepakati oleh kedua belah pihak, bukan dipaksakan. Pikirkan apa yang realistis dan bermakna sebagai konsekuensi jika kepercayaan kembali dikhianati. Apakah itu terkait finansial, hak asuh, atau hal lain. Jika melibatkan hal-hal kompleks seperti aset atau hak asuh, sangat penting untuk konsultasi dengan pengacara keluarga.
Image just for illustration
Ingat, surat ini adalah alat bantu, bukan solusi ajaib. Kekuatan utamanya ada pada niat dan komitmen di balik tanda tangan itu.
Di Balik Selembar Kertas: Membangun Kembali Kepercayaan¶
Surat perjanjian hanyalah satu langkah. Perjalanan untuk membangun kembali kepercayaan setelah perselingkuhan sangat panjang dan berliku. Dibutuhkan:
- Konseling Pasangan: Ini seringkali menjadi kunci. Konselor profesional bisa memfasilitasi komunikasi yang sulit, membantu memproses emosi, dan mengajarkan skill baru untuk hubungan yang lebih sehat.
- Konseling Individu: Pihak yang berselingkuh seringkali perlu memahami mengapa mereka berselingkuh dan mengatasi masalah pribadi mereka. Pihak yang disakiti juga mungkin perlu konseling untuk memproses trauma dan kemarahan.
- Transparansi Total: Pihak yang berselingkuh perlu bersikap transparan sepenuhnya (jika ini adalah kesepakatan pasangan) untuk jangka waktu tertentu untuk membangun kembali rasa aman. Ini bisa berarti berbagi lokasi, riwayat komunikasi, dll., tapi ini harus disepakati, bukan dipaksakan, dan tujuannya adalah pemulihan, bukan kontrol.
- Kesabaran dan Ketahanan: Proses ini tidak instan. Akan ada hari-hari baik dan buruk. Kedua belah pihak perlu sabar dan memiliki ketahanan untuk terus berusaha. Pihak yang disakiti perlu waktu untuk memaafkan (jika memang bisa), dan pihak yang berselingkuh perlu sabar dalam membuktikan bahwa mereka telah berubah.
Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa salah satu faktor terpenting dalam keberhasilan pemulihan setelah perselingkuhan adalah tingkat penyesalan yang ditunjukkan oleh pihak yang bersalah dan kemampuan pasangan untuk memaafkan. Surat perjanjian ini bisa menjadi katalis untuk menunjukkan penyesalan tersebut.
Potensi Perangkap yang Harus Dihindari¶
Saat memutuskan untuk membuat surat perjanjian ini, ada beberapa hal yang perlu diwaspadai agar tidak malah memperburuk keadaan:
- Paksaan: Perjanjian ini harus dibuat atas dasar kesepakatan sukarela. Jika salah satu pihak merasa dipaksa, surat ini tidak akan memiliki makna atau kekuatan moral yang kuat dan bisa menimbulkan kebencian.
- Terminologi yang Tidak Jelas: Pastikan bahasa yang digunakan jelas dan spesifik. Hindari frasa yang ambigu yang bisa disalahartikan.
- Konsekuensi yang Tidak Realistis atau Melanggar Hukum: Jangan mencantumkan konsekuensi yang mustahil dipenuhi, tidak adil, atau bertentangan dengan hukum yang berlaku. Ini hanya akan membuat perjanjian ini sia-sia.
- Mengabaikan Akar Masalah: Surat ini hanya menangani gejala (perselingkuhan) dan komitmen untuk tidak mengulanginya. Penting untuk tetap menggali dan mengatasi akar masalah yang mungkin menyebabkan retaknya hubungan atau perselingkuhan itu terjadi (misalnya masalah komunikasi, keintiman, stres, dll.).
- Menggunakan Surat Ini Sebagai Senjata: Tujuan surat ini adalah pemulihan dan pencegahan, bukan alat untuk menghukum atau mengontrol pasangan seumur hidup. Jika surat ini terus-menerus diungkit atau dijadikan senjata dalam setiap pertengkaran, itu pertanda proses penyembuhan tidak berjalan baik.
Intinya, surat perjanjian ini adalah alat bantu dalam proses yang jauh lebih besar: memperbaiki hubungan yang rusak parah. Keberhasilannya sangat bergantung pada niat, komitmen, dan usaha kedua belah pihak.
Membuat surat perjanjian tidak mengulangi perselingkuhan adalah keputusan besar yang perlu dipikirkan matang-matang. Ini bukan untuk semua pasangan, tapi bagi sebagian, ini bisa menjadi langkah penting menuju pemulihan dan membangun kembali fondasi kepercayaan yang hancur. Semoga panduan dan contoh ini bisa memberikan gambaran yang jelas.
Gimana pendapatmu tentang surat perjanjian semacam ini? Pernahkah kamu mendengar atau punya pengalaman terkait hal ini? Bagikan ceritamu di kolom komentar di bawah!
Posting Komentar